Kamis, 10 Agustus 2006

Masih ingat pepatah "gemah ripah loh jinawi

Masih ingat pepatah "gemah ripah loh jinawi"? Terjemahan bebas dari pepatah ini adalah "negara yang subur, makmur dan sejahtera". Banyak orang yang mengatakan Indonesia adalah negara yang gemah ripah loh jinawi; lautannya berbentuk kolam susu, sementara tongkat, kayu dan batu adalah tanamannya. Hmm, mari kita tengok faktanya
Naiknya harga minyak secara sangat signifikan (oil booming) pada dekade tahun 1970-an, telah membuat Indonesia seperti tertimpa durian runtuh. Dana dari hasil penjualan minyak bumi telah mengantar negeri ini dalam pembangunan ekonomi. Keuntungan dari ekspor minyak berlipat ganda, sehingga, beberapa tahun setelah oil booming ini, pemerintah Orde Baru memutuskan untuk memberikan subsidi energi. Langkah pemberian subsidi ini, pada saat itu, dianggap sebagai langkah tepat yang mampu menarik investor asing turut serta membangun Indonesia. Alhasil, hingga pertengahan 1990-an, pesatnya pembangunan di Indonesia telah membuat negeri ini menjadi salah satu kandidat 'Macan Asia', bersama dengan Thailand dan Malaysia.
Namun, kejayaan Indonesia dari hasil minyak bumi ini tampaknya akan segera menjadi kenangan. Sumur-sumur minyak Indonesia kini sudah semakin mengering, karena ekstraksi (pengeboran) minyak bumi tidak dibarengi oleh eksplorasi (pencarian sumber –bahan bakar—baru) [eksplorasi adalah pencarian ladang minyak bumi baru, bukan?]. Jika pada dekade 1970-an kapasitas produksi minyak mentah Indonesia masih berada di kisaran angka 1,3 juta barel pertahun, pada tahun 2000-an sudah jauh menurun hingga 500 juta barel pertahun. Andaikan saja kapasitas produksi Indonesia akan tetap sebesar 0,5 milyar barrel per tahun, maka cadangan minyak negeri ini yang tinggal kurang dari 5 milyar barrel akan habis dalam jangka waktu 10 tahun. Dengan asumsi tidak ada investasi baru di bidang eksplorasi minyak bumi, diperkirakan tidak lebih dari satu dekade lagi kebutuhan minyak dalam negeri Indonesia harus seluruhnya dipenuhi lewat impor. Maka, inilah kira-kira yang akan terjadi: Impor minyak bumi Indonesia diperkirakan mencapai 441 juta barrel pada tahun 2020. Dengan asumsi harga minyak mentah sebesar US$40 per barrel saja, Indonesia akan mengeluarkan biaya impor sebesar US$18 milyar di tahun 2020— setara dengan lebih dari 3 kali subsidi energi tahun 2005 yang besarnya US$5,7 milyar , atau sekitar 18 kali biaya impor minyak yang dikeluarkan pada tahun 1998 yang besarnya sekitar US$1 milyar.
Fakta ini tidak bisa kita ubah. Hanya ada tiga jalan keluarnya, mencari ladang minyak baru, mengembangkan sumber energi terbarukan seperti sinar matahari dan panas bumi, serta menggunakan energi dengan efisien.
Kenyataan bahwa sektor energi merupakan penggerak roda pembangunan ekonomi tidaklah dapat kita pungkiri. Namun ketika cadangan minyak bumi makin menipis maka energi berpotensi menjadi penghambat pembangunan. Bagaimana ini bisa terjadi? Mari kita tengok ke belakang.
+++++++++

1 komentar:

Sisca mengatakan...

Sayang sekali...karena kurangnya kesadaran, harta karun yg mestinya memelihara kita dalam kurun waktu panjang, perlahan lenyap.

yg tertinggal... gemah ripah utang duniawi